Nikah Siri Dalam Masyarakat Aceh: Cinta Tersembunyi, Anak Jadi Korban
Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM
(Dosen HKI Pascasarjana UIN Suna Lhokseumawe)
Nikah siri menjadi fenomena yang tak asing lagi di tengah masyarakat Aceh. Di balik alasan “demi Allah, kami sah secara agama”, praktik nikah tanpa pencatatan resmi ini justru menyimpan potensi masalah yang besar, terutama terhadap perempuan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Cinta yang dimulai secara diam-diam, kadang berakhir dengan luka yang juga disembunyikan.
Secara agama, sebagian masyarakat meyakini bahwa jika sudah ada wali, dua saksi, dan ijab qabul, maka pernikahan telah sah. Ini memang benar menurut fikih klasik. Namun dalam konteks negara hukum dan masyarakat modern, keabsahan agama tidak selalu identik dengan perlindungan hukum. Dalam banyak kasus di Aceh, terutama di Mahkamah Syar’iyah, permohonan isbat nikah (pengesahan pernikahan) baru diajukan setelah pasangan memiliki anak, atau bahkan saat hubungan rumah tangga sudah di ujung perceraian. Saat itulah muncul kesadaran bahwa nikah siri menyimpan dampak hukum yang serius.
Pernikahan yang tidak dicatat secara hukum negara menyebabkan sejumlah persoalan: perempuan tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut nafkah atau menuntut ke pengadilan saat suami meninggalkan, anak sulit mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah, dan tidak ada kejelasan soal warisan atau harta bersama. Padahal Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum. Nikah siri mungkin sah menurut agama, tapi tidak memiliki pengakuan legal di hadapan negara.
Dalam konteks hukum Islam sendiri, pernikahan memang bisa dianggap sah meskipun tidak dicatat, asalkan memenuhi rukun dan syarat pernikahan: mempelai pria dan wanita, wali, dua saksi, dan ijab qabul. Akan tetapi, para ulama kontemporer menekankan pentingnya pencatatan nikah sebagai bagian dari maslahah mursalah yakni kemaslahatan umat yang tidak disebut secara eksplisit dalam dalil, tetapi menjadi kebutuhan sosial yang mendesak. Dalam maqashid syariah, tujuan pernikahan adalah menjaga keturunan (hifz al-nasl), menjaga kehormatan (hifz al-‘ird), dan menjamin hak-hak anak. Jika nikah siri justru menimbulkan kerusakan terhadap keturunan dan hilangnya hak-hak perempuan, maka pernikahan seperti itu bertentangan dengan esensi syariat Islam.
Di Aceh, praktik nikah siri banyak terjadi pada kelompok-kelompok tertentu: kalangan muda yang belum siap secara ekonomi namun ingin “menghindari zina”, pegawai negeri atau pengusaha yang ingin berpoligami secara sembunyi-sembunyi, atau pasangan beda status sosial yang tak mendapat restu keluarga. Semua itu dilakukan diam-diam, tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama. Namun sayangnya, yang menjadi korban bukan hanya istri, tetapi juga anak. Anak-anak dari nikah siri kerap tidak bisa mendapatkan akta kelahiran dengan nama ayah kandung, karena tidak ada dokumen resmi yang menyatakan ayah ibunya pernah menikah. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam melalui Qanun sebaiknya merumuskan qanun khusus perlindungan hukum yang adil. Pemerintah Aceh, Mahkamah Syar’iyah, dan Dinas Syariat Islam perlu menyusun langkah-langkah konkret untuk menanggulangi maraknya nikah siri. Di antaranya: memperkuat edukasi hukum keluarga Islam sejak dini di pesantren, sekolah, dan kampus; menyederhanakan proses isbat nikah di Mahkamah Syar’iyah agar masyarakat tidak takut mengurusnya; mewajibkan laporan pernikahan di tingkat gampong; serta melibatkan teungku dayah sebagai pendakwah hukum keluarga Islam yang menyelamatkan.
Pernikahan adalah ibadah, Cinta boleh saja buta, tapi hukum tidak. Nikah siri tidak boleh dijadikan jalan pintas yang pada akhirnya mencederai hak perempuan dan anak. Sudah saatnya masyarakat Aceh menyadari bahwa pencatatan nikah bukan sekadar urusan administratif, tapi bentuk perlindungan generasi dan penjaga martabat keluarga dalam perspektif Islam dan negara.
Aceh harus menegaskan bahwa pernikahan yang sah adalah pernikahan yang juga terlindungi. Jangan biarkan cinta sembunyi melahirkan anak yang kehilangan identitas hukum. Jangan biarkan hukum Islam hanya menjadi simbol, tapi tak mampu melindungi mereka yang paling lemah.